Minggu, 04 Agustus 2013

Kisah Marganingsih, Pejuang Hak Menyusui Pekerja Hotel di Yogyakarta

Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda Connect with Facebook

Yogyakarta, Menyusui di manapun dan kapanpun adalah hak bagi setiap wanita. Begitu pula bagi si bayi yang berhak memperoleh ASI eksklusif. Tapi wanita yang bekerja kerapkali harus dihadang oleh hal-hal seperti tak adanya fasilitas, kurangnya dukungan dan labelling tertentu. Hal ini juga dialami Marganingsih.

Tubuhnya mungkin sedikit kurus, tapi semangatnya untuk memperjuangkan fasilitasi bagi wanita hamil dan menyusui di tempat kerjanya sungguh tak dapat diremehkan. Siapa sangka jika ia adalah ketua serikat pekerja mandiri di sebuah hotel bintang lima di Yogyakarta. Dari serikat itulah ia memperjuangkan salah satu hak mendasar wanita yaitu menyusui. Hak yang seharusnya diberikan secara cuma-cuma, tanpa
diminta.

Bukan rahasia lagi jika banyak perusahaan yang tidak menganggap cuti melahirkan atau fasilitasi menyusui seperti ruang laktasi itu adalah hak penting bagi salah satu aset perusahaan yaitu sumber daya manusia, terutama pekerja wanita yang harus dipenuhi, terlepas pemerintah tengah gencar-gencarnya mendorong wacana pemberian ASI eksklusif bagi bayi. Nyatanya dari banyaknya keluhan yang disampaikan rekan-rekan kerjanya, Marga merasa ada yang salah dan ia pun terdorong untuk memperjuangkan nasib mereka.

Bagaimana caranya? Menurut Marga, di tempatnya bekerja ada sebuah perjanjian kerja bersama atau biasa ia sebut dengan PKB yang mencantumkan berbagai hak dan kewajiban yang dimiliki pekerja di hotelnya.

"Tiap dua tahun sekali itu kan ada pembaruan PKB, nah di situ kita mengajukan draft tentang hak-hak pekerja, salah satunya untuk memberikan hak menyusui, termasuk cuti melahirkan," tandas Marga dalam acara Launching Buku dan Diskusi 'Gempita ASI Eksklusif: Bagaimana Tubuh Perempuan' di Pendopo Universitas Widya Mataram Yogyakarta, seperti ditulis detikHealth pada Sabtu (3/8/2013).

Untuk jatah cuti melahirkan, awalnya perusahaan hanya memberikan waktu tiga bulan saja. Padahal idealnya seorang wanita pekerja yang melahirkan mendapatkan cuti selama 6 bulan. Tidak mengherankan karena para ibu baru ini disarankan untuk melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) segera setelah bayinya lahir selama 6 bulan demi sempurnanya tumbuh-kembang anak.

Namun karena keberatan dengan lamanya cuti yang dianggap cukup 'membebani' pihak perusahaan, pekerja wanita di perusahaan Marga hanya diberi jatah cuti tambahan selama setengah bulan atau menjadi 3,5 bulan saja.

"Ini juga setelah kita mengisahkan bagaimana kondisi ibu hamil atau menyusui saat kerja, kendala yang kita temui saat kerja, kan kalo sampai penuh (ASI) gitu, ngeplek di baju, pas kita di depan kan gak enak dilihat, ya kita ketuk hatinya manajemen," kisah Marga.

"Kebetulan manajemen HRD kami ada tiga orang, wanita semua. Jadi kami mengembalikan ke mereka gimana kalo wanita yang ingin menyusui itu tidak mendapatkan haknya," tambahnya bersemangat.

Perjuangan ibu dua anak dan rekan-rekannya ini pun tidak sia-sia. Selain penambahan jatah cuti, pekerja yang hamil dan menyusui pun diberi ruang istirahat dan ruang laktasi tersendiri yang ada di klinik perusahaan.

"Kalau dulu yang hamil gitu yang awalnya di depan, dipindah ke belakang supaya tidak terlalu capek. Beruntung setelah ada ruang istirahat itu teman-teman yang hamil juga tidak perlu tiduran di loker kalo capek," katanya.

Para pekerja juga diberi kesempatan untuk pulang ke rumah jika ingin menyusui ibunya, membawa bayinya ke hotel atau meminta alat pemeras ASI di klinik perusahaan, senyampan itu tak mengganggu kinerjanya.

Tapi bagi Marga, perjuangannya belum selesai. Apalagi dari 72 pasal hak pekerja yang diperjuangkan serikatnya ini, fasilitasi menyusui merupakan pasal terbawah atau yang paling akhir dipertimbangkan oleh manajemen, maka ia masih merasa hak para wanita untuk menyusui belumlah terpenuhi.

Hingga kini Marga mengaku masih memperjuangkan agar rekan-rekannya yang hamil mendapatkan cuti 6 bulan dan memenuhi pemberian hak ASI eksklusif bagi anak-anaknya. "Tiap bulan (hak ini) masih kami negosiasikan terus dengan pihak manajemen, karena kami juga nggak mungkin jadi pengurus terus, manajemennya nggak mungkin sama terus. Padahal kan PKB ini bisa jadi pegangan kami untuk mendapatkan hak yang seharusnya kami peroleh," ujarnya.

(vit/vit)

Source : http://detik.feedsportal.com/c/33613/f/656114/s/2f81c54e/l/0Lhealth0Bdetik0N0Cread0C20A130C0A80C0A30C160A2270C232370A40C7640Ckisah0Emarganingsih0Epejuang0Ehak0Emenyusui0Epekerja0Ehotel0Edi0Eyogyakarta/story01.htm