Minggu, 21 Juli 2013

Rokok Dibatasi, Pasien Kanker Paru di Singapura Susut Drastis

Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda Connect with Facebook

Singapura, Meski bukti ilmiahnya sudah jelas, masih ada orang yang meragukan rokok dapat memicu kanker. Jika masih tak percaya, ada baiknya melongok Singapura. Dulu penduduk negara ini banyak mengidap kanker paru-paru. Namun setelah larangan merokok diberlakukan, insiden kanker paru-paru surut.

"Dulu kanker paru-paru adalah kanker yang paling banyak ditemui di Singapura. Tetapi kini kanker kolorektal (usus besar dan rektum) lah yang nomer 1 di Singapura,' kata kata dr Francis Seow-Choen, Medical Director di Fortis Colorectal Hospital di Singapura.

Dalam acara kunjungan media ke Fortis Colorectal Hospital seperti ditulis Minggu (21/7/2013), dr Francis menjelaskan bahwa prevalensi kanker paru-paru memang lebih banyak ditemukan pada negara berkembang. Namun di negara-negara maju, yang paling ditemukan belakangan adalah kanker kolorektal.

Perubahan 'trend' ini tak lepas dari kebijakan larangan merokok yang ketat diberlakukan pemerintah Singapura beberapa tahun belakangan. Selain membatasi tempat merokok, harga rokok di sana adalah 12 Singapore Dollar perbungkus, atau sekitar Rp 96 ribu. Sedangkan di Indonesia berkisar sekitar Rp 10 ribu tiap bungkus.

Gerak-gerik promosi rokok dalam bentuk promosi dan iklan dibatasi. Dan yang tak ketinggalan, 50 persen bungkus rokok dihiasi oleh gambar seram bahaya merokok bagi kesehatan. Para pendatang dan warga Singapura yang datang dari luar negeri dilarang membawa rokok lebih dari satu slop atau 10 bungkus.

Semenjak kebijakan itu diterapkan, banyak warga Singapura yang membuang jauh-jauh kebiasaan merokoknya. Jarang ditemui orang yang merokok di pinggir jalan terbuka. Bahkan ada mantan peroko yang kini malah mual begitu menghirup asap rokok setelah menjalani terapi untuk menghentikan kebiasaannya.

"Saya berhenti merokok 9 tahun lalu, waktu harga rokok jadi 12 Singapore Dollar. Kalau harga 6-9 Singapore Dollar saya masih mau beli. Sekarang kalau cium asap rokok mual saya, setelah ikut terapi henti rokok," kata Sebastian, seorang sopir mobil sewaan.

Pengetatan ini memang bertujuan membatasi konsumsi rokok. Hasilnya, kasus kanker paru-paru menurun drastis. Namun di sisi lain, kanker kolorektal kini menduduki peringkat pertama, menggeser kanker paru-paru sebagai kanker dengan korban terbanyak. Setiap tahun, ada sekitar 1.580 kasus yang didiagnosis dari tahun 2005-2009.

Jika kanker paru banyak disebabkan karena merokok, di mana risikonya meningkat 15 – 25 kali lebih besar ketimbang yang tak merokok, maka kebanyakan orang lantas menuduh pemicu kanker kolorektal adalah karena salah mengkonsumsi makanan. Namun menurut dr Francis, makanan tak ada kaitannya dengan kanker.

"Sebenarnya belum ada penelitian dan data valid yang menunjukkan bahwa kanker dipengaruhi oleh makanan. Yang jelas, faktor genetika menyumbang pengaruh sekitar 30 persen. Cara terbaik untuk mencegah kanker kolorektal adalah melakukan pemeriksaan," kata dr Francis.

Kebanyakan orang didiagnosis dengan kanker kolorektal saat berusia lebih dari 45 tahun. Pada orang muda berusia kurang dari 20 tahun yang didiagnosis mengidap kanker colorectum, besar kemungkinan dia memiliki gen yang berisiko memicu kanker. Maka apabila menemui anggota keluarga mengidap kanker, sebaiknya segera memeriksakan diri.

Untuk mendeteksi adanya kemungkinan kanker kolorektal, dr Francis menganjurkan untuk menjalani pemeriksaan kolonoskopi, yaitu pemeriksaan usus besar lewat anus, setidaknya 5 tahun sekali. Sebab perkembangan polip yang berisiko menjadi kanker membutuhkan waktu sekitar 5 tahun.

(pah/vit)

Source : http://detik.feedsportal.com/c/33613/f/656114/s/2ef1f59a/l/0Lhealth0Bdetik0N0Cread0C20A130C0A70C210C120A6250C230A91540C7630Crokok0Edibatasi0Epasien0Ekanker0Eparu0Edi0Esingapura0Esusut0Edrastis/story01.htm