Senin, 17 Juni 2013

Studi: Beda Jenis Kelamin, Beda Juga Gejala Penyakit dan Obatnya

Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda Connect with Facebook

Jakarta, Gejala penyakit satu dengan lainnya tentu berbeda. Namun tak peduli apapun jenis kelamin pasiennya, gejala penyakit antara pasien pria maupun wanita pastilah sama. Hanya saja sebuah studi memperingatkan fakta ini bisa saja keliru.

Secara garis besar, tim peneliti dari Italia menemukan perbedaan jenis kelamin pasien menyebabkan perbedaan gejala penyakit yang mereka derita. Bahkan peneliti dapat memaparkan ada lima aspek perbedaan yang cukup signifikan, yaitu terkait penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit liver, osteoporosis dan farmakologi.

Pertama, ketika seorang pria mengalami serangan jantung maka gejala standarnya adalah nyeri dada yang menjalar hingga ke bawah lengan kirinya. Sedangkan pada wanita gejalanya adalah mual dan terasa nyeri di perut bagian bawahnya. Hal inilah yang menyebabkan banyak pasien jantung wanita yang tidak tertangani dengan baik, karena gejala serangan jantung pada wanita dianggap non-spesifik atau tidak seperti gejala serangan jantung pada umumnya.

Hal kedua yang disoroti studi yang dipublikasikan dalam jurnal Clinical Chemistry and Laboratory Medicine ini adalah pengaruh kanker usus terhadap hidup pasien wanita dibandingkan dengan pasien pria karena tumornya sendiri muncul di bagian tubuh yang berbeda, meski sama-sama di usus. Tumor penyebab kanker usus pada wanita pun dapat merespons sejumlah senyawa kimia lebih baik daripada pria.

Ketiga, wanita lebih rentan terkena primary biliary cirrhosis ketimbang pria. Primary biliary cirrhosis (PBC) adalah penyakit autoimun hati yang ditandai oleh kerusakan pada saluran empedu. Tak hanya itu, pasien wanita juga berisiko lebih tinggi terkena hepatitis C karena hormon kewanitaannya.

Sebaliknya, karena osteoporosis lebih sering terlihat dialami oleh wanita, osteoporosis pada pria jadi lebih sering diabaikan. Akibatnya, kasus patah tulang pada pria sangatlah tinggi.

Terakhir, bentuk tubuh pasien pun memainkan peranan penting dalam menentukan efek obat-obatan seperti aspirin terhadap tubuh si pasien. Perbedaan bentuk tubuh ini juga menimbulkan perbedaan waktu reaksi tubuh ketika menyerap kandungan obat, termasuk mempengaruhi status hormon si pasien.

Untuk itu, agar obat-obatan yang diresepkan dapat dikonsumsi dengan aman dan bekerja efektif bagi pasien, dosis dan durasi pengobatannya harus mempertimbangkan jenis kelamin masing-masing pasien.

Bagi ketua tim peneliti Profesor Professor Giovannella Baggio dari Padua University Hospital, Italia ini, cukup ironis ketika mengetahui bahwa di awal milenium ketiga ini para peneliti bidang kesehatan masih memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang perbedaan suatu penyakit berdasarkan gender pasiennya. Hal itu terutama terkait gejala penyakit, yang jelas-jelas dapat mempengaruhi faktor fisiologi dan faktor sosial pasien, termasuk konsekuensinya terhadap upaya pengobatan dan pencegahan.

"Selama 40 tahun, sebagian besar penelitian hanya terfokus pada pasien pria. Apalagi untuk penyakit kardiovaskular yang dikatakan sebagai penyakitnya para pria, padahal wanita juga bisa mengalaminya dengan gejala yang sama sekali berbeda," imbuhnya.

"Jadi meskipun serangan jantung pada wanita jauh lebih parah dan rumit, ketika mengalami gejala (mual dan nyeri perut) yang dikatakan non-spesifik ini, para wanita kerapkali tak memperoleh prosedur pemeriksaan yang diperlukan seperti ECG, tes diagnosis enzim ataupun coronary angiography (prosedur untuk memeriksa arteri jantung menggunakan sinar X)," tutup Profesor Baggio seperti dilansir Daily Mail, Senin (17/6/2013).

(vit/vit)

Source : http://detik.feedsportal.com/c/33613/f/656114/s/2d5f49f6/l/0Lhealth0Bdetik0N0Cread0C20A130C0A60C170C0A729270C22750A390C7630Cstudi0Ebeda0Ejenis0Ekelamin0Ebeda0Ejuga0Egejala0Epenyakit0Edan0Eobatnya/story01.htm