Minggu, 30 Juni 2013

Bekerja Sesuai Panggilan Jiwa

TEMPO.CO, Jakarta - Mencari passion dalam pekerjaan terkadang tidak mudah. Ada orang yang harus bergonta-ganti pekerjaan demi mendapatkan passion yang pas. Bagi mereka, passion dalam bekerja adalah panggilan jiwa.

Stephen Dawni Nugraha adalah contohnya. Sekitar tujuh tahun Dawni nyemplung ke dunia kerja dan sudah tujuh perusahaan pula yang disinggahinya. "Petualangan" pria 30 tahun ini dimulai sebagai management trainee Blue Bird setelah ia lulus dari Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung pada 2006. "Tapi saya keluar karena penempatan di lokasi dekat pelabuhan, sering sakit," ujar Dawni.

Setelah itu, dia pindah ke Daya Adira Mustika, kemudian ke Sara Lee dengan posisi yang sama, management trainee. Namun Dawni merasa ada skill yang kurang dimilikinya. "Saya merasa soft skill saya kurang, dalam hal fokus, tahan banting dalam bekerja, dan mengelola hubungan dengan atasan supaya bisa bekerja dengan nyaman," katanya.

Dawni kemudian memulai kembali dari titik awal, yaitu kampusnya. Ia bekerja di Ganesha Astro Media dengan tugas membimbing perwakilan Indonesia yang akan maju dalam Olimpiade Astronomi, juga mengelola sistem pendampingan jarak jauh. "Saat di Ganesha Astro Media, saya seperti memulai karier dari bawah lagi, dari bidang ilmu yang pernah dipelajari," tuturnya.

Menurut Dawni, Ganesha sebenarnya tempat yang nyaman untuk bekerja, baik dari segi materi yang didapat maupun suasana kerja. Tapi Dawni haus akan tantangan yang bisa mengembangkan dirinya. "Aku butuh belajar, enggak cuma astronomi, tapi the real world yang ada di luar astronomi," ujarnya. Dia pun pindah dari Ganesha untuk masuk ke fase selanjutnya dalam dunia kerja, yaitu bekerja mengikuti passion (panggilan jiwa)-nya.

Pijakan pertamanya adalah HCM Excellence Consulting Firm, firma konsultan yang fokus dalam masalah rumah sakit dan industri kesehatan, sebagai konsultan. Namun Dawni merasa ada yang kurang dalam pekerjaannya. "Kita enggak tahu apakah hasil analisis atau planning kita berhasil dieksekusi atau enggak, atau apakah benar-benar memiliki nilai atau berimbas pada keuntungan perusahaan," katanya.

Setelah 19 bulan di HCM, Dawni memutuskan untuk lompat ke Disdus, perusahaan start-up digital yang menawarkan daily deals, penawaran potongan diskon atau harga khusus, sebagai business analyst & development manager. Karena merasa tidak cocok dengan budaya perusahaan, dia pun melompat ke perusahaan sejenis, VivaSky, perusahaan startup di bidang TV berbayar, sebagai business support manager.

Demi benar-benar menjalankan profesi sesuai passion jugalah yang membuat Muadzin Furqanul Jihad bersabar menunggu selama sekitar 15 tahun. Sepanjang itu pula pria 43 tahun ini berpindah-pindah kerja dan berganti-ganti profesi. "Sebenarnya sejak kuliah saya ingin punya usaha sendiri," kata Muadzin, yang lulus dari Jurusan Teknik Elektro Universitas Indonesia pada 1996 ini.

Karena itu, selepas kuliah, sambil bekerja sebagai engineer pada perusahaan minyak dan gas multinasional, Muadzin menjalankan bisnis sampingan. Macam-macam yang dijual oleh ayah tiga anak itu, dari sepatu hingga sembako. Dia juga merambah ke bisnis multi-level marketing (MLM). Bagi Muadzin, bisnis MLM ini mengasah jiwa wirausaha sekaligus melatih mentalnya. Selama delapan tahun, Muadzin menjalankan MLM.

Pada 2008, dia ikut pelatihan kewirausahaan yang digelar Entrepreneur University. Entrepreneur University dikelola oleh Purdi E. Chandra yang terkenal sebagai pemilik lembaga bimbingan belajar Primagama dan dikenal dengan jargon "cara gila jadi pengusaha".

Selesai mengikuti pelatihan selama dua bulan, Muadzin langsung membuka usaha. Dia memilih model franchise. "Saya pilih bisnis laundry dan restoran bakso Malang," katanya. "Tapi restoran bakso Malang hanya bertahan enam bulan. Tidak menguntungkan, langsung saya tutup."

Tutupnya restoran bakso Malang meninggalkan kredit macet di lima bank. Menggunakan sistem kredit tanpa agunan, dia harus menanggung bunga bank yang besar. Semula pinjam Rp 300 juta, Muadzin harus mengembalikan Rp 600 juta. Akibatnya, dia dan keluarganya harus menanggung teror debt collector alias tukang tagih utang. "Ini pengalaman yang traumatik," ujanya.

Namun ia tak patah semangat. Sambil terus membuka bisnis laundry, Muadzin mulai mencoba bisnis baru: jualan minuman kopi instan. Patungan dengan temannya, ia membuka gerai di depan bisnis laundry di salah satu ruko di Depok. Bermodal Rp 3,6 juta, bisnis Semerbak Coffee terus bekembang.

Hingga pada Juli 2011 ia memutuskan untuk berhenti bekerja di perusahaan minyak dan gas. "Hasil dari bisnis ini sudah sama dengan penghasilan saya di perusahaan," katanya tentang alasan dia berani mundur dari pekerjaan dan sepenuhnya menjalankan bisnis Semerbak Coffee.

Kini, Semerbak Coffee sudah berkembang menjadi 430 gerai di 85 kota. Muadzin pun akhirnya bisa melunasi utang-utangnya di bank. Menurut Muadzin, ia sekarang bisa sepenuhnya menjalankan passion-nya sebagai seorang entrepreneur.

Menurut Muadzin, passion harus digali. Tak mudah mendefinisikannya dalam bahasa Indonesia. Untuk mengetahui apakah kita bekerja dengan passion atau tidak adalah, "Bila kita mengerjakan sesuatu berjam-jam, tapi tidak merasa lelah, dan terasa cepat, tahu-tahu sudah malam," ujarnya. "Passion itu lentera hati, panggilan jiwa," penulis buku Follow Your Passion ini menambahkan.

ISMA SAVITRI | IQBAL MUHTAROM | RATNANING ASIH

Source : http://www.tempo.co/read/news/2013/06/30/215492246/Bekerja-Sesuai-Panggilan-Jiwa