Senin, 27 Mei 2013

Bergerilya di Akar Rumput Memperjuangkan Nasib Buruh

Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda Connect with Facebook

Tangerang, Berserikat adalah strategi paling ampuh untuk memperjuangkan nasib buruh. Namun demikian, ada berbagai alasan yang membuat sebagian buruh tidak bisa terlibat dalam pergerakan semacam itu. Peran seorang pendamping buruh dibutuhkan untuk membuat buruh-buruh ini tetap berdaya, tidak pasrah begitu saja menerima nasib.

Tidak bisa dipungkiri, banyak perusahaan dengan berbagai cara berusaha membatasi buruhnya untuk berserikat. Meski hak untuk berkumpul dan berserikat dilindungi oleh undang-undang, nyatanya tidak sedikit buruh takut dipecat jika terlalu aktif menyuarakan hak-haknya melalui pergerakan di serikat buruh.

Di dalam serikat buruh sendiri ada berbagai hal yang bisa mengurangi minat buruh untuk bergabung, salah satunya adalah iuran wajib yang bagi sebagian buruh dirasa membebani. Jika untuk membiayai hidupnya sendiri saja terkadang upahnya tidak cukup, sebagian buruh tentu enggan jika harus membayar iuran untuk operasional organisasi serikat buruh.

Para buruh yang harus berjuang sendiri-sendiri ini kadang tidak memiliki kekuatan jika tidak ada yang mendampingi dan memberdayakannya. Kasminah (42 tahun), seorang mantan buruh yang pernah aktif di pergerakan serikat buruh pun terpanggil untuk merangkul para buruh yang tercecer di akar rumput dan berada di luar jangkauan para elit pengurus serikat buruh.

"Bukan apa-apa, karena saya melihat di grass root itu jauh lebih membutuhkan (tenaga saya) ketimbang elit serikat. Kalau semua ditarik ke pusat, di bawah keteteran nggak ada yang ngurus," kata Kasminah yang merupakan seorang relawan pendampingan buruh dari Lembaga Daya Dharma (LDD), sebuah organisasi di bawah koordinasi Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN).

Bagi Kasminah, memberikan pendampingan secara personal kepada para buruh adalah pengalaman yang sangat berbeda dengan yang dirasakannya saat berada di barisan depan. Di belakang layar, ia merasa lebih dekat, lebih memahami banyak hal yang menjadi permasalahan buruh dan jarang dijumpainya di kepengurusan serikat buruh.

Dari pengalamanya mendampingi buruh, ia memahami bahwa seringkali perselisihan antara buruh dengan perusahaan berawal dari ketidaktahuan buruh tentang hak dan kewajibannya. Ia mengakui dalam banyak kasus perusahaan-perusahaan sering melakukan kecurangan, tetapi ada juga karyawan yang nakal atau pun tidak tahu bagaimana menempatkan diri.

"Misalnya ada perselisihan. Harusnya tidak sampak terjadi PHK, tapi karena buruhnya ngotot dan melakukan tindakan yang maksudnya dia agar perusahaan agar memberikan haknya, akhirnya dibelokkan jadi kriminal. Misalnya hanya dengan menyobek pengumuman perusahaan, itu bisa jadi tindakan tidak menyenangkan. Itu sering, dulu SBKU juga menangani kasus yang cukup terkenal, Sandal Bolong, itu kasusnya Hamdani," kata Kasminah yang di awal-awal menjadi buruh tahun 1996, tergabung dalam Serikat Buruh Karya Utama (SBKU).

Permasalahan Hak-hak Buruh Perempuan

Soal nasib buruh perempuan, Kasminah juga menjumpai banyak masalah di akar rumput. Perusahaan banyak memberi perlakuan diskriminatif terhadap buruh perempuan yang membuat hak-haknya terlecehkan. Baik hak untuk mendapatkan upah yang layak, maupun fasilitas-fasilitas sesuai dengan kodrat dan fungsi reproduksi buruh perempuan yang memang berbeda dari laki-laki.

"Ada satu kehebatan buruh perempuan itu, Mas. Lebih jeli, lebih telaten dan yang terpenting (bagi perusahaan) lebih nrimo (pasrah). Karena dianggap cuma membantu suami, ya sepemberiannya gaji diterima saja," terang Kasminah yang juga pernah aktif di Komite Buruh Cisadane (KBC) dan turut merintis Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

Sudah dibayar murah, fasilitas bagi buruh perempuan sering tidak diperhatikan. Kasminah mencatat, sangat sedikit atau bahkan hampir tidak ada perusahaan yang memberikan kesempatan bagi buruh perempuan yang baru melahirkan untuk menyusui atau setidaknya memerah ASI (Air Susu Ibu) sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Seharusnya, perusahaan memberikan kesempatan sepatutnya bagi buruh perempuan yang sedang dalam masa menyusui. Selain harus memberi kesempatan, perusahaan seharusnya juga menyediakan tempat khusus. Kebanyakan, tempat untuk memerah ASI adalah toilet yang tentunya tidak dianjurkan karena tidak steril dan tidak memiliki lemari pendingin untuk menyimpan dan mengawetkan hasil perahan.

"Ketika bekerja harus menunggu 5 jam misalnya, itu sangat menyiksa Mas. Harusnya tiap 3 jam diberi kesempatan 10 atau 15 menit untuk menyusui. Karena kalau ASI tidak dikeluarkan itu rasanya sakit sekali, badan bisa panas dingin nggak karuan," tambah Kasminah.

Bahkan hak mendapatkan cuti haid pun kerap diabaikan oleh perusahaan dengan pemberian izin yang dipersulit. Selain diancam tidak dibayar selama absen bekerja, beberapa buruh yang mengalami nyeri haid juga menghadapi keharusan untuk menyertakan surat dokter atau bahkan pemeriksaan fisik untuk membuktikan buruh tersebut benar-benar sedang datang bulan.

Namun menurut Kasminah, ada pula buruh yang karena pengetahuannya terbatas dan juga desakan ekonomi nya begitu kuat justru memilih tidak memanfaatkan cuti haid meski sebenarnya butuh. Kasminah menuturkan, sebagian buruh memilih nekat bekerja saat mengalami nyeri haid demi mendapatkan penghasilan ekstra yang dijanjikan perusahaan jika cuti haid tidak diambil.

"Karena desakan ekonomi, banyak yang tetap kerja. Nggak peduli sakit, akhirnya dalam 1-2 tahun muncul kista misalnya. Kenapa? Darah kotornya tidak keluar, ditahan saat duduk. Akibat lainnya, itu jadi pembenaran bagi perusahaan untuk tidak ngasih cuti haid. Nyatanya, diganti uang jadi nggak sakit kok, begitu katanya," tutur Kasminah.

Soal pemanfaatan cuti haid, Dr Astrid Widajati Sulistomo, SpOk, spesialis okupasi atau kesehatan kerja dari Departemen Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menilainya sebagai hak buruh perempuan yang memang harus diberikan oleh perusahaan. Tidak perlu menggunakan surat dokter, cukup dilihat dari catatan bulanan karena dari situ sudah bisa dilihat apakah siklusnya wajar atau tidak.

"Saya sih nggak setuju kalau harus dilihat, sampai ada perusahaan yang meng-hire bidan atau dokter yang tugasnya hanya melihat beneran datang bulan atau enggak. Etikanya, itu nggak perlu. Tanpa surat dokter pun, kan memang sudah menjadi hak, 2 hari dalam sebulan untuk cuti," kata Dr Astrid saat dihubungi lewat telepon.

Perlakuan Terhadap Buruh Perempuan yang Hamil

Soal perlakuan terhadap buruh perempuan yang hamil, Kasminah menilai sebenarnya ada banyak kemajuan dalam 5 tahun belakangan ini. Pemahaman di kalangan buruh terhadap hak-hak untuk mendapatkan perlakuan khusus saat hamil membuat perusahaan mulai banyak memberikan pekerjaan yang lebih ringan atau memindahkan buruh tersebut ke bagian yang tidak membahayakan kehamilan.

Sayangnya hal itu hanya berlaku bagi karyawan tetap, bukan buruh kontrak apalagi outsource. Bagi buruh kontrak dan outsource yang hamil, pilihannya cuma mengundurkan diri atau diberhentikan saat ketahuan sedang hamil. Banyak yang nekat tetap bekerja hingga usia kandungan 5 bulan karena terdesak kebutuhan ekonomi, dan akibatnya ada yang keguguran karena beban kerjanya tidak disesuaikan.

"Masih syukur-syukur kalau ada perusahaan yang bolehin istirahat, boleh cuti meski tidak dibayar. Atau berhenti sementara, tapi ada jaminan nanti boleh kerja lagi atau minimal dapat prioritas kalau mendaftar lagi. Seperti itu saja sudah sangat-sangat mulia. Soalnya yang ada begitu ketahuan langsung cut," tambah Kasminah.

Adanya larangan hamil bagi buruh perempuan seperti yang dikisahkan Kasminah juga mendapat sorotan dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), yang mengaitkannya dengan risiko aborsi tidak aman. Susahnya mencari kerja membuat para buruh dihadapkan pada situasi dilematis, saat harus memilih melanjutkan kehamilan dengan risiko kehilangan pekerjaan atau menghentukannya dengan aborsi atau induksi haid.

Suharsih, peneliti dari Pusat Studi Seksualitas PKBI mencatat bahwa alasan karir sering menjadi alasan bagi pekerja perempuan untuk melakukan induksi haid. Dalam penelitian yang dilakukannya di 13 klinik kesehatan reproduksi di 9 kota di Indonesia, perempuan yang memilih aborsi demi menyelamatkan karir di antaranya berprofesi sebagai pramugari, pegawai bank dan karyawati yang sedang menjalani tugas belajar.

Diakui oleh Suharsih, penelitian yang dilakukannya pada tahun 2008 hingga 2011 tersebut memang tidak menemukan klien induksi haid dari kalangan buruh rendahan seperti dampingan Kasminah. Bukan berarti tidak ada, Suharsih menduga hal itu lebih disebabkan oleh keterbatasan informasi dan kesempatan untuk mengakses klinik kesehatan reproduksi yang memberikan layanan induksi haid yang aman secara medis.

"Bukan berarti tidak ada dan bukan karena penghasilannya tidak seberapa dibanding pegawai bank (sehingga untuk dipertahankan tentu lebih tidak sebanding dengan risiko melakukan aborsi), tetapi lebih karena aksesnya terbatas. Siapa sih yang tahu ada layanan seperti ini? Buruh yang di desa-desa kan ya nggak tahu ada layanan aborsi yang aman," kata Suharsih yang justru lebih khawatir jika aborsi dilakukan di tempat-tempat yang tidak terjamin keamanannya.

Kekhawatiran Suharsih cukup beralasan sebab riset yang dilakukannya memang menunjukkan, 52 persen klien induksi haid yang mendatangi klinik kesehatan reproduksi telah melakukan upaya penghentian kehamilan sendiri sebelumnya. Sebanyak 31 persen melakukannya dengan jamu dan obat-obatan, 18 persen dengan dokter atau bidan praktik dan sisanya ada yang menggunakan jasa dukun pijat dan sebagainya.

Hasil observasi medis yang dil akukan di 2 klinik di Jakarta dan Bandung menunjukkan terdapat 34 klien yang tidak mudah diaspirasi (kuret) karena jaringannya lengket. Aspirasi pada 12 klien menunjukkan adanya jaringan yang sudah hancur dan 1 klien mengalami incomplete abortion akibat upaya penghentian kehamilan secara tidak aman.

Tidak Sendiri

Kasminah tidak sendirian memperjuangkan nasib kaum buruh lewat pendampingan secara personal di akar rumput. Bersama dengan rekan-rekannya sesama relawan LDD yang lain, ia berbagi tugas memberikan pendampingan di kantong-kantong buruh di berbagai penjuru Tangerang, Banten.

Tidak hanya memberikan edukasi soal peraturan-peraturan ketenagakerjaan, pendampingan yang dilakukan para relawan ini juga menjangkau permasalahan nyata yang dihadapi para buruh. Misalnya ketika ada seorang buruh pabrik sepatu yang mengalami keguguran karena tidak mendapatkan perlakuan khusus saat hamil, para relawan juga turun memberikan saran dan masukan.

"Kita nggak mendampingi langsung ke pabrik, hanya pendampingan personal. Diberi pemahaman agar tidak merasa tergantung, kalau memang sangat menyiksa untuk apa dipertahankan kerja di situ," kata Sr Angelina, SFD, salah seorang rekan Kasminah sesama relawan pendamping buruh di LDD.

Para relawan ini juga memberikan pelatihan untuk mengelola keuangan melalui skema Credit Union. Pelatihan untuk mengelola keuangan memang mendapat perhatian lebih dari Kasminah dan rekan-rekannya, karena memang paling dibutuhkan oleh para buruh dampingan yang umumnya hanya berstatus sebagai tenaga kontrak dan outsource.

Tanpa adanya jaminan hari depan, nasib buruh-buruh kontrak dan outsourcing memang sangat memprihatinkan. Berserikat tetap menjadi senjata utama untuk memperjuangkannya, tetapi pemberdayaan buruh secara individual melalui pendampingan-pendampingan seperti yang dilakukan Kasminah dan rekan-rekannya sama pentingnya agar para buruh bisa bertahan hidup dengan segala keterbatasan yang dihadapinya.

(up/vit)

Source : http://health.detik.com/read/2013/05/27/072659/2256280/764/bergerilya-di-akar-rumput-memperjuangkan-nasib-buruh